Jakarta - Menurut hadits riwayat Ahmad, ada tiga orang yang doa mereka tidak terhalang atau tidak tertolak. Hadits tersebut dihasankan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab shahih keduanya. Berikut bunyi haditsnya,عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثَلاثَةٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا فَوْقَ الْغَمَامِ وَتُفَتَّحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَعِزَّتِي لأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍArtinya Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Tiga orang yang doanya tidak tertolak pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan doa orang yang terzalimi, Allah akan mengangkatnya di bawah naungan awan pada hari kiamat, pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya seraya berfirman Demi keagunganKu, sungguh Aku akan menolongmu meski setelah beberapa saat." HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Berdasarkan hadits di atas, tiga orang yang tidak tertolak doanya adalah pemimipin yang adil, orang yang bepuasa, dan orang yang terzalimi. Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki berpendapat mengenai golongan pertama yakni pemimpin yang adalah orang-orang yang mematahkan 'duri' orang-orang zalim dan pelaku kriminal. Ia menjadi sandaran kaum dhuafa dan orang-orang miskin."Dengan kehadiran pemerintah yang adil, urusan publik terselesaikan sehingga mereka merasa aman dan terjamin jiwa, harta, dan nama baiknya," kata Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki dikutip dari laman SD Muhammadiyah 1 Ketelan kedua yakni orang yang berpuasa sampai ia berbuka meliputi orang-orang yang berpuasa sunnah maupun wajib. Khususnya puasa di bulan Ramadhan."Terkabulnya doa orang yang berpuasa disebabkan kuatnya unsur kedekatan diri kepada Allah SWT, mengosongkan jiwa dari perkara mubah dan godaan syahwat," demikian keterangan Sayyid Alwi bin Abbas adalah golongan orang yang dizalimi. Menurut buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karangan Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi terkabulnya doa orang yang dizalimi menjadi salah satu bukti dahsyatnya kezaliman yang dibenci Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surah Hud ayat 102,وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌArtinya Demikianlah siksaan Tuhanmu apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya siksaan-Nya sangat pedih lagi sangat demikian, sejatinya, semua doa dikabulkan oleh Allah SWT. Namun, tentang waktu terkabulnya hanya Allah yang tahu dan menurut riwayat Ahmad juga menyebutkan, Allah SWT memiliki cara tersendiri untuk mengabulkan doa-doa dari hambaNya yang memohon pertolongan. Rasulullah SAW dalam haditsnya menjelaskan beberapa cara Allah mengabulkan permintaan dari hambaNya. Dari Abu Sa'id yang mengutip sabda Rasulullah SAW,ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُArtinya "Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi melainkan Allah akan beri padanya tiga hal 1 Allah akan segera mengabulkan doanya, 2 Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan 3 Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal." Para sahabat lantas mengatakan, "Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa." Rasulullah lantas berkata, "Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian." HR Ahmad. Simak Video "Bupati Meranti M Adil Tiba di Gedung KPK Sambil Bawa Koper" [GambasVideo 20detik] rah/lus
HaditsArbain Ke-10 Menjaga Makanan dari yang Haram Penyebab Do'a tertolak. Hadist Arbain ke 10, Menjaga makanan dari yang haram. Dari Abu Hurairoh rodhiallohu 'anhu, ia berkata: "Rosululloh sholallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: "Sesungguhnya Alloh itu baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik.Sudut Hukum Pembagian Hadis Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan Pembagian hadits yang ketiga adalah berdasarkan sifatnya yang tertolak. Ada begitu banyak hadits yang tertolak, namun semua bisa disebut dengan satu istilah, yaitu hadits lemah atau dhaif. Pengertian hadits dhaif adalah مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوطِهِ Hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Contoh hadits yang dhaif adalah مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فيِ دُبُرِهَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا نَزَلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ Siapa yang menyetubuhi wanita yang sedang haidh atau istri pada duburnya, maka dia telah kufur pada agama yang turun kepada Nabi Muhammad. Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini dhaif, karena di dalam rangkaian para perawinya ada orang yang bernama Hakim Al-Atsram, yang statusnya dhaif. 1. Hukum Menggunakan Hadits Dhaif Para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dhaif. Pendapat pertama mengharamkannya, karena dianggap tidak bersumber dari Rasulullah SAW secara benar. Di antara yang berpandangan demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari. Pendapat yang kedua membolehkan diriwayatkannya hadits dhaif ini, dengan syarat-syarat tertentu yang ketat. Di antara syaratnya adalah bahwa konten hadits itu tidak terkait dengan masalah fundamental aqidah dan hukum halal haram dalam syariat. Sedangkan bila kontennya seputar anjuran untuk memberi nasehat, semangat untuk ibadah atau ancaman meninggalkan yang haram, serta kisah-kisah, maka hukumnya dibolehkan. Di antara mereka yang diriwayatkan berpendapat demikian adalah Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan hukum mengamalkan konten hadits yang dhaif, sebagian ulama membolehkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Al-Hafizdh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa di antara syarat-syarat itu adalah Kedhaifan hadits itu tidak terlalu parah. Hadits itu berpegangan di atas dasar yang banyak dipakai orang. Ketika mengamalkan hadits itu tidak meyakini bahwa hadits itu tsubut, tetapi sekedar berjaga-jaga seandainya hadits shahih. 2. Penyebab Dhaifnya Suatu Hadits Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu. a. Lemah Dari Sisi Isnad Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi isnad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar. Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis, antara lain hadits muallaq معلّق, mursal مرسل, mu’dhal معضل, munqathi’ منقطع, mudallas مدلّس, mursal khafi مرسل خافي, mu’an-an معنعن dan muannan معنّن b. Lemah Dari Sisi Perawi Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya. Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya. Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas perawi, di antaranya adalah hadits maudhu, matruk, munkar, ma’ruf, mu’allal, mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su’ul hifdz
Ditinjaudari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha'if.
Oleh Nabila Asy-Syafi’i عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ Hadis – Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngadakan dalam urusan kami agama kami sesuatu yang bukan merupakan perkara agama maka ia tertolak”. HR. al-Bukhari dan Muslim Dalam riwayat Muslim “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak“. KANDUNGAN HADITS Kata ” رَدٌّ” raddun menurut ahli bahasa adalah tertolak atau tidak sah. لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا “Bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim [singkat namun penuh makna], yang dikarunikan kepada Rasulullah SAW. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara dalam urusan agama yang direkayasa. Melalui hadits ini, kemurnian Islam terjaga dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini menyatakan dengan jelas keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik diciptakan sendiri maupun mengikuti orang lain. Al Allamah Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan dalam tanya jawabnya, secara bahasa, bid’ah artinya adalah al-mubtadi’ alladzi ya’ti amran ala syubhin lam yakun orang yang melakukan bid’ah adalah orang yang mendatangkan perkara yang belum ada penggambaran sebelumnya; wa abda’ta asy syai’a ikhtara’tahu la ala mitsalin dan Anda melakukan bid’ah, yaitu Anda melakukan inovasi yang tidak ada contohnya. Artinya di situ ada contoh yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan seorang muslim melakukan dengan menyalahinya. Jadi, bid’ah adalah menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh syariah untuk menunaikan perintah syara’. Makna ini ditunjukkan oleh hadits yang seringkali dijadikan dalil tentang bid’ah. “Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak.” HR al-Bukhari dan Muslim Contoh, barang siapa sujud tiga kali dalam salatnya dan bukan dua kali, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab, dia menyalahi apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Siapa yang melempar jumrah 8 kali lemparan dan bukan 7 lemparan maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab ia juga menyalahi apa yang dicontohkan Rasul SAW. Siapa yang menambahi lafal adzan atau menguranginya, maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi adzan yang dicontohkan atau telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Imam Muslim telah mengeluarkan hadis dari Aisyah ra, dimana beliau menggambarkan shalat Rasulullah SAW, Aisyah ra, berkata “Rasulullah SAW jika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak…” Di dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku’, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tata cara ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Maka siapa saja yang menyalahi tata cara yang dijelaskan dalam hadis ini, ia telah melakukan bid’ah. Jadi, jika seseorang yang sedang shalat bangkit dari ruku’, kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bid’ah. Sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bid’ah ini adalah sesat dan pelakunya berdosa besar. Sedangkan menyelisihi perintah syariah yang tidak ditentukan tata caranya namanya bukan bid’ah, tetapi menyalahi hukum syariah. Menyalahi atau penyimpangan seperti ini tidak dikatakan bid’ah, tetapi jika berkaitan dengan hukum taklifi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah, maka dihukumi makruh atau haram. Jika berkaitan dengan hukum wadh’i, maka dihukumi fasad atau bathil. Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Ubadah bin Shamitra., ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda “Rasulullah saw melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, shorghum dengan shorghum, kurma dengan kurma; dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya. Siapa saja yang menambah atau minta tambah, maka sungguh telah berbuat riba.” Seandainya seorang Muslim menyalahi hadis ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi ada kelebihan harga satu dengan yang lain, dan timbangannya tidak sama, maka ia tidak disebut telah melakukan bid’ah, tetapi disebut telah melakukan keharaman yakni riba. Oleh karena itu, yang terkait dengan perkembangan saint dan teknologi, semisal komputer, alat transportasi dan komunikasi, maka semua itu bukan terkategori bid’ah, dan bukan pembahasan bid’ah namun terkait dengan sarana dan prasarana untuk kemudahan hidup, yang hukumnya adalah mubah. Allahu a’lam.0 Hadits Tentang Riba. 0. Sesungguhnya Seseorang Apabila Sedang Berhutang Ketika Dia Berbicara Biasanya Berdusta dan Bila Berjanji Sering Menyelisihinya. 0. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya. 0. Mata Pencaharian Apakah Yang Paling Baik? 0. Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-05 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Ja’far al-Makhrami az-Zuhri dan Ibrahim bin Saad. Keduanya dari Saad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah ra. Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dll. Al-Muhdatsah adalah sesuatu yang diada-adakan, atau sesuatu yang baru, yang belum ada contoh sebelumnya. Lafal fî amrinâ maknanya adalah fî dîninâ di dalam agama kami. Kata radd[un] maknanya adalah mardûd[un] tertolak—dalam bentuk mashdar dalam makna maf’ûl; seperti kata khalq yang bermakna makhlûq yang diciptakan. Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam Hadis Arba’in, hadis ke lima. Hadis ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hadis ini adalah salah satu pokok agung dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya; sebagaimana hadis “perbuatan itu bergantung pada niat” adalah neraca amal pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah maka pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Setiap hal baru dalam perkara agama ini yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah bagian dari agama sedikitpun tertolak. Manthûq kedua hadis ini menyatakan bahwa setiap hal baru dan setiap perbuatan yang menyalahi ketentuan Islam, yakni menyalahi syariah, adalah tertolak. Adapun dari mafhûm-nya bisa dipahami, bahwa amal dan hal baru yang tidak menyalahi—artinya yang sesuai dengan ketentuan Islam dan syariahnya—adalah diterima. Jadi makna hadis ini adalah bahwa siapa saja yang amal perbuatannya keluar dari syariah, tidak terikat dengan syariah, adalah tertolak. Hadis di atas menyatakan tidak semua hal yang baru tertolak. Karena hadis itu bukan hanya menyatakan man ahdatsa, tetapi melengkapinya dengan sifat mâ laysa minhu yang bukan bagian darinya. Jadi yang tertolak adalah hal baru apa saja—baik pendapat, ucapan atau perbuatan—yang menyalahi atau keluar dari koridor agama atau syariah. Sabda Nabi saw. laysa alayhi amrunâ mengindikasikan bahwa semua amal perbuatan seseorang harus berada dalam koridor hukum-hukum syariah dan hukum syariah menjadi pemutus atas amal perbuatannya itu melalui perintah dan larangannya. Jadi, siapa yang perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, adalah diterima. Sebaiknya, siapa yang perbuatannya keluar dari hal itu adalah tertolak. Dengan demikian, hadis ini menegaskan wajibnya terikat dengan syariah. Tentang perbuatan menyalahi perintah maka harus dilihat. Perintah syariah adakalanya disertai penjelasan tentang tatacara atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya kayfiyah al-adâ’, artinya kayfiyah al-adâ’-nya telah ditetapkan atau telah dibatasi. Contohnya shalat, haji, dan sebagian besar ibadah. Karena itu, melakukannya dengan tatacara yang berbeda, menyalahi dan keluar dari tatacara yang telah ditetapkan itu, adalah haram dan disebut telah melakukan bid’ah. Misalnya, bersujud tiga kali dalam satu rakaat, melempar jumrah sebanyak delapan kali, dan sebagainya. Inilah yang secara istilah disebut bid’ah, yaitu menyalahi tatacara syar’i yang telah dijelaskan oleh syariah dalam melaksanakan perintah syariah. Sebagian besar ibadah dijelaskan kayfiyah al-adâ’-nya. Adakalanya perintah bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan kayfiyah al-adâ’-nya. Misal, Rasul memerintahkan agar melakukan transaksi salam dalam timbangan, takaran dan tempo yang jelas; menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak harus semisal dan sama; dsb. Namun, kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya tidak dijelaskan. Langkah-langkah melakukan transaksi itu—apakah harus berdiri, duduk, saling berjabat tangan, membaca ayat lebih dahulu, dsb—tidak dijelaskan. Misal lain, Rasul memerintahkan berdiri ketika ada jenazah lewat, tetapi bagaimana berdirinya tidak dijelaskan. Rasul juga memerintahkan untuk memilih istri/suami yang agamanya baik, tetapi beliau tidak menjelaskan bagaimana tatacara memilihnya. Dalam masalah muamalah kondisinya seperti ini, yakni tidak dijelaskan kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya. Perintah dalam masalah muamalah ini bersifat umum atau mutlak. Penyimpangan terhadap perintah syariah dalam masalah muamalah ini tidak disebut bid’ah. Akan tetapi, penyimpangan itu ada dalam cakupan hukum syariah. Jika berkaitan dengan hukum taklîfi maka disebut haram, makruh atau mubah. Tidak berdiri saat jenazah lewat tidak disebut bid’ah, tetapi dikatakan itu adalah mubah. Sebab, riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa beliau tetap duduk ketika ada jenazah lewat. Seseorang yang tidak menutup auratnya di hadapan orang asing tidak dikatakan telah berbuat bid’ah, tetapi dikatakan telah melakukan keharaman. Jika penyimpangan itu dalam hukum wadh’i maka disebut batil atau fasad. Inilah yang berlaku dalam seluruh akad. Jika menyalahi ketentuan tentang pokok atau substansi akad misalnya menyalahi ketentuan ijab qabul, obyek akadnya tidak jelas majhûl atau yang berakad bukan orang yang berhak melakukannya, maka akadnya batil. Adapun jika penyimpangan itu bukan tentang pokok atau substansi akad, misal mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, gaji belum disebutkan saat akad kerja, dsb, maka dikatakan akadnya fasad. Demikianlah seterusnya. Wallâhu a’lam. [Yahya Abdurrahman]
100% found this document useful 2 votes3K views6 pagesDescriptionsemoga bermanfaatOriginal TitleHADITS MARDUDCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 2 votes3K views6 pagesHadits MardudOriginal TitleHADITS MARDUDJump to Page You are on page 1of 6 You're Reading a Free Preview Pages 4 to 5 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
TiSB.